Kumandang adzan subuh
membangunkan Bastian yang terlelap dari tidurnya, setiap hari ia harus bangun
pagi menyiapkan segala keperluan sekolah dan dagangannya. Bastian adalah seorang
anak berumur 9 tahun yang ditinggal ibunya sejak 4 tahun silam. Ayahnya tak
memiliki pekerjaan tetap. Iapun memiliki 2 adik yang masih kecil. Bastian hanya
ditemani sang nenek yang sudah renta. Gubuk yang ia sebut sebagai rumah dengan
halaman berlapis kerikil dan sambungan- sambungan rel kereta api menjadi pagar
bagi dia dan keluarganya. Bastian menjadi tulang punggung keluarganya sejak berusia
7 tahun. Sejak pukul 05.00 WIB Bastian sudah meninggalkan gubuknya menuju
warung yang menjadi langganan dia untuk mengambil tisu yang akan ia jual
selepas sekolah.
Bastian adalah
seorang penjual tisu, hal itu ia lakukan demi menafkahi keluarga
kecilnya. Akan tetapi, Bastian tidak lantas meninggalkan pendidikannya untuk
mencapai sebuah cita- cita. Jarak gubuk dengan sekolahnya memang cukup jauh
berjarak 2 km. Jam yang sudah lusuh menjadi andalan baginya untuk tidak telat
ketika aktifitasnya dimulai. Jarum jam mengarah tepat pukul 06.00 Wib.
Bastian-pun berpamitan pada sang nenek “Assalamu’alaikum nek aku pamit”
seruh bastian dengan nada lembut khasnya, “Wa’alaikum salam, hati- hati nak”
jawab nenek sambil menatap dari kejauhan hingga badan mungil Bastian tak tampak
lagi. Bastian dikenal memiliki pribadi yang santun, sopan, ceria, dan pekerja keras oleh karena itu
banyak orang yang sangat menyayanginya bahkan mengagumi Bastian.
Arah jarum jam tangan
lusuh yang menempel pada tangan kanan Bastian menunjukkan pukul 6.15 WIB. Biasanya ia sampai di warung
langganan biasa ia mengambil stok tisu untuk dijual kembali. “Mbah tisunya
mbah 15 saja” seru Bastian dengan nada khasnya. “Ko 15 nak ?” tanya Mbah Yati biasa Bastian menyebutnya, “ Iya Mbah,
soalnya aku mau ada belajar kelompok di rumah teman, takutnya nanti kalau aku
ambil banyak tidak terjual tisunya” sahut Bastian dengan nada polos, “yasudah
kalau begitu, belajar yang rajin ya nak biar kamu bisa membahagiakan Nenekmu”
sahut Mbah Yati dengan nada haru menahan tangis. Mbah Yati adalah seorang janda
yang ditinggal meninggal suami dan anak satu-satunya dalam kecelakaan tunggal. Oleh sebab itu mbah Yati
sudah menggap Bastian seperti anaknya sendiri.
Pukul 06.30 wib Bastian
sudah tiba di gerbang sekolah dan lagi-lagi tidak lupa dengan kebiasaan baiknya
itu dia menyapa penjaga sekolahnya “Pagi pak....” seru Bastian dengan
semangat, “Pagi jagoan” sahut Pak
Ponidi biasa bastian memanggilnya. Teeeeeeeeet........teeeeeeeeeeeeet.......teeeeeeeeeeeet
suara bel penanda masuk sekolah berbunyi. Waktu belajarpun dimulai. Bastian
adalah sosok anak yang terkenal cerdas di sekolahnya. Dia selalu mendapatkan
ranking 1 di kelas. Masyarakat sekolahpun sangat kagum terhadap Bastian. Salah
satunya ibu sundari yang tak lain adalah wali kelasnya di kelas 3. Hampir
setiap hari Bastian selalu mendapat pujian dari Bu Sundari. Pernah suatu ketika,
Bastian mengikuti lomba bercerita sampai tingkat Provinsi dan berhasil menjadi
juara 2 untuk mewakili sekolahnya, “Selamat ya Bastian. Ingat, kamu tidak
boleh minder, meski kekurangan, kamu masih
bisa mengukir segudang prestasi” seru Ibu Sundari kepada Bastian sambil
mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. “Iya bu, terimakasih atas
bimbingan dan arahan ibu sehingga saya bisa menjadi juara 2” sahut bastian
dengan nada haru.
Teeeeeeet.........teeeeeeeeet.........teeeeeeet
suara bel berbunyi pertanda jam pulang sekolah telah tiba. Bastian dan teman-
temannya berhamburan keluar dengan wajah ceria, itu artinya mereka akan kembali
kerumah masing- masing dan bertemu keluarga serta makan siang bersama. Berbeda
dengan Bastian. Hal demikian tidak akan dia rasakan karena dia harus kembali
kepada rutinitasnya yaitu berjualan tisu keliling entah ke jalan raya, pasar,
atau bahkan terminal bus yang tak jauh dari sekolahnya, hal ini bukan lagi
menjadi penghalang bagi Bastian untuk tidak berprestasi dan membahagiakan
neneknya yang menjadi obat pelepas lara dan rindu Bastian kepada Ibunya.
Panasnya terik matahari
yang membakar kulit gelapnya tak mematahkan semangat Bastian untuk terus menjajakkan
tisu dagangannya. “Bu tisu bu”....!! seru Bastian kepada Ibu- Ibu
berkacamata. “Berapa nak harganya”??...sahut Ibu itu dengan logat sopan
khas Jawa. “ 2000 rupiah saja Bu” jawab Bastian dengan tersenyum. “Ibu
beli satu ya nak” dengan tersenyum menatap Bastian, “ Iya, ini bu
tisunya! terimakasih” jawab bastian sambil menyerahkan tisunya. 2000 rupiah
adalah harga yang Bastian patok untuk menjual satu tisu miliknya dan dia
mengambil keuntungan 500 rupiah itu yang Mbah Yati pesankan kepada Bastian. Sikap
jujur dan amanah ini yang membuat orang jatuh hati dan sangat percaya kepada
Bastian. Dia tidak menambahkan harga yang sudah semestinya.
Jam tangan yang melekat
pada tangan kiri Bastian menunjukkan pukul 17.30 wib, matahari mulai membenamkan
wujudnya, langit semakin gelap, Bastianpun bergegas pulang. “Alhamdulillah,
tisuku hanbis terjual hari ini, terimakasih Ya Allah!!” seru Bastian dengan
mengangkat kedua tangannya.“Assalamu’alaikum”....?? seru Bastian di depan
gubuk miliknya, “Wa’alaikum salam..!!” sahut nenek Bastian, dengan nada
lirih khas nenek. “Bagaimana sekolahmu nak?” Tanya nenek penasaran, “Alhamdulillah
baik dan lancar nek”, jawab Bastian dengan wajah polosnya, “nenek udah
makan belum?” tanya Bastian, “belum nak” jawab nenek. “ Ini Bastian
belikan nenek nasi dan teh. Dimakan ya nek mumpung masih hangat...! seru Bastian
sambil memberikan kantung plastik kepada nenek. “oh iya Ucil dan Misro mana
nek?” tanya Bastian tentang kedua adiknya itu, “Adikmu sudah berangkat
ke masjid nak untuk shalat maghrib” jawab nenek, “yasudah nek, Bastian
mau mandi dulu sebelum ke masjid”, seru bastian sambil menenteng handuknya.
Allahu
akbar....Allaaaaaaahu akbar, adzan maghribpun berkumandang. Jarak masjid yang
tak begitu jauh menjadi acuan semangat Bastian untuk giat beribadah terutama
shalat berjama’ah, karena hal yang sangat diingat Bastian ketika mengaji dengan
Pak Ustad Nasrullah guru ngajinya, adalah tentang keutaman shalat berjama’ah
yang pahalanya 27 kali lipat daripada shalat sendiri. Jadi hampir tidak pernah
Bastian shalat wajib sendiri.
20 Tahun berselang
sosok Bastian kini menjadi seorang pemuda yang tak hanya dikagumi di wilayah
tempat tinggalnya. Bahkan seluruh Indonesia mengetahui sosok Bastian. Ia kini
menjadi seorang motivator yang sangat terkenal di Indonesia. Semua angan- angan
yang dahulu menjadi harapan semu Bastian, kini dapat ia wujudkan dengan
semangat berdo’a, berikhtiyar serta selalu bertawakal kepada Allah ketika semua
jenis usaha telah ia lakukan, namun selalu mengalami kegagalan, kini Bastian
dapat membahagiakan nenek yang selalu mengajarkan kejujuran dan kedisiplinan
dalam berusaha dan bersikap, serta kedua adiknya yang kini telah menjadi
sarjana. Tidak henti-hentinya Bastian selalu mendekat kepada sang pemilik alam
semesta Ilahi Rabbi yang menjadikan ia sebagai sosok yang tangguh dan pekerja
keras. Dalam salah satu seminarnya, Bastian pernah mengAtakan tentang kejujuran
di hadapan peserta seminar, “kejujuran akan menghantarkan kamu kepada
kesuksesan, dan kesuksesan yang jujur akan menghantarkan kamu ke dalam surga,
sebaliknya kebohongan akan menghantarkan kamu kepada penyakit hati, dan
penyakit hati akan menghantarkan kamu ke dalam nereka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar