Kamis, 03 November 2016

BOCAH PENJUAL TISU YANG JUJUR


      Kumandang adzan subuh membangunkan Bastian yang terlelap dari tidurnya, setiap hari ia harus bangun pagi menyiapkan segala keperluan sekolah dan dagangannya. Bastian adalah seorang anak berumur 9 tahun yang ditinggal ibunya sejak 4 tahun silam. Ayahnya tak memiliki pekerjaan tetap. Iapun memiliki 2 adik yang masih kecil. Bastian hanya ditemani sang nenek yang sudah renta. Gubuk yang ia sebut sebagai rumah dengan halaman berlapis kerikil dan sambungan- sambungan rel kereta api menjadi pagar bagi dia dan keluarganya. Bastian menjadi tulang punggung keluarganya sejak berusia 7 tahun. Sejak pukul 05.00 WIB Bastian sudah meninggalkan gubuknya menuju warung yang menjadi langganan dia untuk mengambil tisu yang akan ia jual selepas sekolah.
      Bastian adalah seorang  penjual tisu,  hal itu ia lakukan demi menafkahi keluarga kecilnya. Akan tetapi, Bastian tidak lantas meninggalkan pendidikannya untuk mencapai sebuah cita- cita. Jarak gubuk dengan sekolahnya memang cukup jauh berjarak 2 km. Jam yang sudah lusuh menjadi andalan baginya untuk tidak telat ketika aktifitasnya dimulai. Jarum jam mengarah tepat pukul 06.00 Wib. Bastian-pun berpamitan pada sang nenek “Assalamu’alaikum nek aku pamit” seruh bastian dengan nada lembut khasnya, “Wa’alaikum salam, hati- hati nak” jawab nenek sambil menatap dari kejauhan hingga badan mungil Bastian tak tampak lagi. Bastian dikenal memiliki pribadi yang santun, sopan,  ceria, dan pekerja keras oleh karena itu banyak orang yang sangat menyayanginya bahkan mengagumi Bastian.
      Arah jarum jam tangan lusuh yang menempel pada tangan kanan Bastian menunjukkan pukul  6.15 WIB. Biasanya ia sampai di warung langganan biasa ia mengambil stok tisu untuk dijual kembali. “Mbah tisunya mbah 15 saja” seru Bastian dengan nada khasnya. “Ko 15 nak ?”  tanya Mbah Yati  biasa Bastian menyebutnya, “ Iya Mbah, soalnya aku mau ada belajar kelompok di rumah teman, takutnya nanti kalau aku ambil banyak tidak terjual tisunya” sahut Bastian dengan nada polos, “yasudah kalau begitu, belajar yang rajin ya nak biar kamu bisa membahagiakan Nenekmu” sahut Mbah Yati dengan nada haru menahan tangis. Mbah Yati adalah seorang janda yang ditinggal meninggal suami dan anak satu-satunya dalam  kecelakaan tunggal. Oleh sebab itu mbah Yati sudah menggap Bastian seperti anaknya sendiri.
      Pukul 06.30 wib Bastian sudah tiba di gerbang sekolah dan lagi-lagi tidak lupa dengan kebiasaan baiknya itu dia menyapa penjaga sekolahnya “Pagi pak....” seru Bastian dengan semangat,  “Pagi jagoan” sahut Pak Ponidi biasa bastian memanggilnya. Teeeeeeeeet........teeeeeeeeeeeeet.......teeeeeeeeeeeet suara bel penanda masuk sekolah berbunyi. Waktu belajarpun dimulai. Bastian adalah sosok anak yang terkenal cerdas di sekolahnya. Dia selalu mendapatkan ranking 1 di kelas. Masyarakat sekolahpun sangat kagum terhadap Bastian. Salah satunya ibu sundari yang tak lain adalah wali kelasnya di kelas 3. Hampir setiap hari Bastian selalu mendapat pujian dari Bu Sundari. Pernah suatu ketika, Bastian mengikuti lomba bercerita sampai tingkat Provinsi dan berhasil menjadi juara 2 untuk mewakili sekolahnya, “Selamat ya Bastian. Ingat, kamu tidak boleh minder, meski kekurangan,  kamu masih bisa mengukir segudang prestasi” seru Ibu Sundari kepada Bastian sambil mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. “Iya bu, terimakasih atas bimbingan dan arahan ibu sehingga saya bisa menjadi juara 2” sahut bastian dengan nada haru.
      Teeeeeeet.........teeeeeeeeet.........teeeeeeet suara bel berbunyi pertanda jam pulang sekolah telah tiba. Bastian dan teman- temannya berhamburan keluar dengan wajah ceria, itu artinya mereka akan kembali kerumah masing- masing dan bertemu keluarga serta makan siang bersama. Berbeda dengan Bastian. Hal demikian tidak akan dia rasakan karena dia harus kembali kepada rutinitasnya yaitu berjualan tisu keliling entah ke jalan raya, pasar, atau bahkan terminal bus yang tak jauh dari sekolahnya, hal ini bukan lagi menjadi penghalang bagi Bastian untuk tidak berprestasi dan membahagiakan neneknya yang menjadi obat pelepas lara dan rindu Bastian kepada Ibunya.
      Panasnya terik matahari yang membakar kulit gelapnya tak mematahkan semangat Bastian untuk terus menjajakkan tisu dagangannya. “Bu tisu bu”....!! seru Bastian kepada Ibu- Ibu berkacamata. “Berapa nak harganya”??...sahut Ibu itu dengan logat sopan khas Jawa. “ 2000 rupiah saja Bu” jawab Bastian dengan tersenyum. “Ibu beli satu ya nak” dengan tersenyum menatap Bastian, “ Iya, ini bu tisunya! terimakasih” jawab bastian sambil menyerahkan tisunya. 2000 rupiah adalah harga yang Bastian patok untuk menjual satu tisu miliknya dan dia mengambil keuntungan 500 rupiah itu yang Mbah Yati pesankan kepada Bastian. Sikap jujur dan amanah ini yang membuat orang jatuh hati dan sangat percaya kepada Bastian. Dia tidak menambahkan harga yang sudah semestinya.
      Jam tangan yang melekat pada tangan kiri Bastian menunjukkan pukul 17.30 wib, matahari mulai membenamkan wujudnya, langit semakin gelap, Bastianpun bergegas pulang. “Alhamdulillah, tisuku hanbis terjual hari ini, terimakasih Ya Allah!!” seru Bastian dengan mengangkat kedua tangannya.“Assalamu’alaikum”....?? seru Bastian di depan gubuk miliknya, “Wa’alaikum salam..!!” sahut nenek Bastian, dengan nada lirih khas nenek. “Bagaimana sekolahmu nak?” Tanya nenek penasaran, “Alhamdulillah baik dan lancar nek”, jawab Bastian dengan wajah polosnya, “nenek udah makan belum?” tanya Bastian, “belum nak” jawab nenek. “ Ini Bastian belikan nenek nasi dan teh. Dimakan ya nek mumpung masih hangat...! seru Bastian sambil memberikan kantung plastik kepada nenek. “oh iya Ucil dan Misro mana nek?” tanya Bastian tentang kedua adiknya itu, “Adikmu sudah berangkat ke masjid nak untuk shalat maghrib” jawab nenek, “yasudah nek, Bastian mau mandi dulu sebelum ke masjid”, seru bastian sambil menenteng handuknya.
      Allahu akbar....Allaaaaaaahu akbar, adzan maghribpun berkumandang. Jarak masjid yang tak begitu jauh menjadi acuan semangat Bastian untuk giat beribadah terutama shalat berjama’ah, karena hal yang sangat diingat Bastian ketika mengaji dengan Pak Ustad Nasrullah guru ngajinya, adalah tentang keutaman shalat berjama’ah yang pahalanya 27 kali lipat daripada shalat sendiri. Jadi hampir tidak pernah Bastian shalat wajib sendiri.
      20 Tahun berselang sosok Bastian kini menjadi seorang pemuda yang tak hanya dikagumi di wilayah tempat tinggalnya. Bahkan seluruh Indonesia mengetahui sosok Bastian. Ia kini menjadi seorang motivator yang sangat terkenal di Indonesia. Semua angan- angan yang dahulu menjadi harapan semu Bastian, kini dapat ia wujudkan dengan semangat berdo’a, berikhtiyar serta selalu bertawakal kepada Allah ketika semua jenis usaha telah ia lakukan, namun selalu mengalami kegagalan, kini Bastian dapat membahagiakan nenek yang selalu mengajarkan kejujuran dan kedisiplinan dalam berusaha dan bersikap, serta kedua adiknya yang kini telah menjadi sarjana. Tidak henti-hentinya Bastian selalu mendekat kepada sang pemilik alam semesta Ilahi Rabbi yang menjadikan ia sebagai sosok yang tangguh dan pekerja keras. Dalam salah satu seminarnya, Bastian pernah mengAtakan tentang kejujuran di hadapan peserta seminar, “kejujuran akan menghantarkan kamu kepada kesuksesan, dan kesuksesan yang jujur akan menghantarkan kamu ke dalam surga, sebaliknya kebohongan akan menghantarkan kamu kepada penyakit hati, dan penyakit hati akan menghantarkan kamu ke dalam nereka”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar